Sekelompok massa yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Purwakarta melakukan aksi menghancurkan beberapa patung wayang seperti Semar, Bima, Gatotkaca, dan Yudhistira di Purwakarta minggu 18 September 2011 lalu. Aksi ini dilakukan setelah pelaksanaan istighosah atau doa bersama. Menurut situs eramuslim, dalam pantauan mereka, peserta aksi tidak hanya berasal dari Purwakarta tetapi juga dari Bandung, Cikampek, Cianjur dan Ciamis.
Berdasarkan berita-berita yang ada di berbagai situs, kontroversi mengenai patung-patung wayang di Purwakarta ini sebenarnya sudah timbul sejak akhir tahun silam. Bahkan sidang gugatan terhadap pembangunan patung-patung tersebut sudah berjalan. Beberapa demo yang menolak pembangunan dan mendukung penghancuran patung-patung itu juga sudah lama berjalan. Sebagai contoh pada 6 Agustus 2010 silam, Forum Ulama Indonesia yang dipimpin oleh KH. Abdullah AS Joban, yang sekaligus pimpinan Yayasan Ibnu Sina.
Alasan utama yang dikemukakan dari penghancuran Patung Wayang tersebut adalah karena pendirian Patung-Patung Wayang tersebut 1. tidak bermanfaat, 2. pemborosan secara ekonomi, 3. bertentangan dengan nilai-nilai sejarah Purwakarta - karena bukan pahlawan daerah yang diangkat, 4. bertentangan dengan nilai-nilai Islami yaitu menyuburkan kemusyrikan, dan 5. secara politik memaksakan kepercayaan kepada tokoh tahayul secara sistematik, serta 6. secara aspek budaya merupakan pengultusan tokoh khayalan.
Sebenarnya, masalah wayang telah menjadi polemik di kalangan para wali pada jaman dahulu. Karena menurut mereka yang menentangnya, di dalam wayang terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah,doktrin keesaan Tuhan dalam Islam. Tetapi kemudian, para wali mengadakan beberapa penyesuaian terhadap :
1. Karakter Wayang, yang tadinya menyerupai manusia diubah-suai dengan memiringkan leher, memperpanjang lengan, dan lain sebagainya sehingga tokoh-tokoh wayang tidak lagi mirip manusia normal.
2. Cerita, yang tadinya bersumberkan pada kisah Mahabarata dan Ramayana murni dari India, banyak dibuatkan kisah-kisah carangan dan penambahan unsur-unsur Islami seperti kisah Dewa Ruci yang sangat sufistik. Belum lagi penghapusan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami lain seperti poliandri yang dilakukan oleh Drupadi diubah bahwa Drupadi hanyalah isteri dari Yudhistira, dan lain-lain.
3. Kalimat Syahadat dan Al Quran pun diperkenalkan melalui pusaka yang dimiliki oleh keluarga Pandawa yaitu Jamus Kalimasada yang berbentuk kitab.
Menurut Muhammad Fakhryrozi, dalam tulisannya di Media Indonesia (
http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/573) Para Wali -lah yang justru berperan penting dalam mengembangkan pewayangan di Indonesia. Bahkan mereka mengatur pembagian permainan wayang menjadi wayang kulit, wayang orang, dan wayang golek di tanah Jawa ini. Hal ini berkaitan dengan maknawi wayang yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Jadi, pewayangan di Indonesia sudah tidak lagi mengandung nilai-nilai Hinduisme, tetapi justru sangat kental dengan nilai-nilai Islami baik dari Karakter, Cerita, dan Bentuk Peragaan dalam memainkan Wayang itu.
Penghancuran Patung Wayang di Purwakarta, jika dilihat dari kronologis kisruhnya tampaknya lebih kepada sengketa kebijakan Pemda Purwakarta yang tidak melibatkan masyarakat sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan mulai dari APBD, Lokasi, sampai pada pelaksanaan pembangunannya. Sebab selain Patung Wayang, masyarakat Purwakarta juga menilai negatif kebijakan Pemda tentang Batik Kahuripan yang hendak dilestarikan karena dinilai tidak mencerminkan dua kalimat Syahadat dan tidak bernuansa Islami.